Mandala kembali mati. Harga bahan bakar minyak dan jenis pasar penerbangan dituding sebagai penyebab maskapai penerbangan ini tutup. Pengamat menilai posisi pasar perusahaan ini tidak jelas.
KANTOR City Ticketing Office Tigerair Mandala, yang terletak satu kawasan dengan pusat penjualan onderdil mobil di Duta Mas, Fatmawati, Jakarta Selatan, sudah tidak lagi bekerja normal mulai Senin, 16 Juni 2014. Kantor itu tak lagi melayani penjualan tiket seperti hari-hari sebelumnya.
Sebagian karyawan mulai mengepak perlengkapan kantor. Barang-barang itu kemudian dikemas dan dua hari kemudian dikirim ke Yogyakarta, ke kantor biro perjalanan yang menjadi mitra bisnis Tigerair Mandala untuk mengoperasikan kantor penjualan tiket itu. “Barang-barang kantor, seperti komputer dan laptop, sudah dikirim kemarin,” ujar seorang pemuda, yang mengatakan bekerja sebagai office boy di kantor itu dan sekarang diminta menunggui di sana, pada Kamis, 19 Juni lalu.
Pengiriman barang itu dilakukan beberapa jam sebelum Tigerair Mandala melansir siaran pers yang menyatakan operasi penerbangan perusahaan ini hanya akan berjalan sampai 1 Juli mendatang. Penerbangan terakhir perusahaan itu adalah R1545 dari Hong Kong menuju Denpasar.
Ya, Mandala, maskapai penerbangan yang mati pada 13 Januari 2011 dan kemudian hidup lagi mulai April 2012 dengan nama Tigerair Mandala mati lagi mulai Juli nanti. Tigerair Mandala menyebut melemahnya kondisi pasar, meningkatnya biaya bahan bakar, dan kenaikan biaya operasional akibat rupiah melemah sebagai penyebab kematian-kedua perusahaan ini. “Hal-hal seperti itu membuat kami terus merugi dan akhirnya direksi serta dewan komisaris memutuskan lebih baik kami stop,” kata Thoriq Syarief-Husein, Manajer Humas Tigerair Mandala.
Masalah kondisi pasar dan kenaikan harga bahan bakar sebenarnya juga dialami maskapai lain, tidak hanya Mandala. Tapi hanya Mandala yang tutup. Itu sebabnya, Ruth Hanna Simatupang, pengamat penerbangan yang pernah menjadi eksekutif sebuah maskapai penerbangan serta menjadi anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi, menuturkan masalah Mandala adalah tidak jelasnya pasar perusahaan ini. “Mereka tidak menentukan pilihan dalam membidik segmen pasar, apakah low cost carrier atau full flight service,” kata Ruth. Posisi Mandala Tigerair dinilai tidak jelas, apakah merupakan maskapai penerbangan murah seperti AirAsia atau dengan pelayanan lengkap seperti Garuda.
Pelayanan Mandala memang kadang mirip maskapai full service. Soal ketepatan waktu misalnya. Maskapai penerbangan murah dikenal sangat buruk ketepatan waktunya karena mereka memaksa pesawat selama mungkin di udara, bukan di bandara. Tapi, berdasarkan catatan Kementerian Perhubungan, angka ketepatan waktu Mandala terbaik dibanding maskapai tarif murah meski nomor tiga jika dibanding dengan maskapai full service.
Ketepatan waktu ini dibanggakan Paul Rombeek, Presiden Direktur PT Tigerair Mandala Airlines, dalam wawancara dengan majalah detik beberapa bulan silam. Menurut Rombeek, ketepatan waktu mereka mencapai 80-85 persen. Tapi ada yang dikorbankan dalam urusan ketepatan waktu ini. “Ini memang membutuhkan biaya,” kata Rombeek.
Tigerair Mandala adalah maskapai patungan antara Saratoga, perusahaan investasi milik Sandiaga Uno, dan Tiger Airways dari Singapura. Kepemilikan Saratoga sebesar 51,3 persen dan Tiger Airways 33 persen. Sisanya, 15,7 persen, dipegang pemilik lama serta kreditor. Gejala Tigerair Mandala bakal tutup mulai terasa pada awal Februari 2014. Saat itu Tigerair Mandala menutup 9 rute penerbangan dan mengurangi frekuensi dua rute penerbangan. Direksi dan komisaris kemudian berupaya mencari investor baru untuk menyuntikkan dana segar, sehingga Tigerair Mandala bisa leluasa mengudara. Titik terang sempat datang dari AirAsia dan Citilink, anak usaha Garuda Indonesia. Keduanya berminat menjadi investor.
Namun belakangan rencana menggandeng investor itu batal. “Direksi sudah berusaha mencari investor yang paling potensial untuk membiayai Mandala ke depan, tapi kami tidak menemukan kata sepakat,” ujar Thoriq, yang enggan menjelaskan alasan batalnya rencana itu.
Informasi kegagalan Tigerair Mandala menggaet investor sampai ke ruangan Direktur Angkutan Udara Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo. Dia mengatakan Tigerair Mandala memang membutuhkan investor baru karena investor sekarang tidak mampu lagi menanggung beban biaya operasional Beratnya beban operasional ini membuat Tigerair Mandala sulit menambah jumlah pesawat. Padahal jumlah armada yang memadai merupakan salah satu syarat utama bagi maskapai untuk bersaing. “Dunia aviasi adalah dunia yang makin tebal uang yang ada ya akan lebih cepat berkembang. Sedangkan kami hanya punya lima pesawat yang terbang, sehingga tidak cukup untuk menutupi biaya-biaya lainnya,” ujar Thoriq.
Setelah tidak mampu lagi membiayai biasa operasional, pemegang saham pun memutuskan menutup kegiatan operasional maskapai ini. “Sisa uang yang ada dipakai untuk menangani penggantian tiket penumpang,” kata Djoko
Belum ada tanggapan untuk "Tigerair Mandala kembali mati"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism