TARIF penerbangan yang dipasang pada situs
tiket pesawat online itu sangat murah. Kurang dari Rp 700 ribu untuk penerbangan rute Surabaya-Bangkok pada Senin, 17 Februari 2014. Tarif ini cuma sepertiga dari harga yang ditawarkan oleh
maskapai penerbangan lain. Selain itu, ini satu-satunya penerbangan dari Jawa Timur ke Thailand yang tidak perlu transit. Yang lain mesti ganti pesawat di Jakarta, Bandar Seri Begawan, atau Singapura.
Tapi tarif murah meriah ini bakal berakhir pada pertengahan bulan depan. PT Mandala Airlines bakal mundur dari posisinya sebagai satu-satunya maskapai penerbangan murah yang melayani rute Surabaya-Bangkok. Warga Surabaya yang hendak ke Bangkok mesti menggunakan penerbangan full service, yang penerbangannya lebih lama karena transit dan bayarnya lebih mahal.
Maskapai anak perusahaan Tiger Air dari Singapura itu terpaksa menutup sejumlah rute, termasuk Surabaya-Bangkok, akibat tekanan jatuhnya nilai tukar rupiah. “Dalam low season ini, kami memutuskan mengubah atau menutup sementara rute yang membutuhkan lebih banyak investasi,” kata Paul Rombeek, Presiden Direktur PT Mandala Airlines.
Kenaikan ini membuat Menteri Perhubungan merestui permintaan asosiasi perusahaan penerbangan untuk menaikkan surcharge alias biaya tambahan untuk menutup biaya operasional penerbangan.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti mengatakan kebijakan ini diambil karena harga avtur dalam tiga bulan terakhir melampaui Rp 10 ribu per liter. Kebijakan ini mulai efektif tahun depan dan akan dievaluasi tiga bulan sekali. “Kalau sudah normal, akan kami cabut aturan ini,” tutur Herry.
Sedangkan di pihak maskapai penerbangan, mereka melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi masalah ini. Mandala Airlines menghentikan sembilan rute penerbangan sebagai antisipasi kenaikan nilai dolar. Perusahaan ini juga mengurangi frekuensi sejumlah penerbangan, seperti Jakarta-Singapura, dari lima kali menjadi empat kali sehari.
“Kami beradaptasi terhadap kondisi ekonomi, yang mana dolar naik signifikan, sehingga biaya operasional kami naik,” kata Lucas Suryanata, juru bicara Mandala Airlines.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kenaikan harga avtur mendongkrak beban biaya operasional Mandala. Sebagai contoh, 50-60 persen biaya operasional Mandala dipakai untuk membeli avtur. Sementara itu, perusahaan harus membayar dalam bentuk dolar untuk pengadaan suku cadang pesawat maupun sewa pesawat. “Sedangkan kami menerima revenue dalam rupiah, sehingga pasti ada ketimpangan,” ujar pria yang biasa dipanggil Surya ini.
Jadi mereka menutup sejumlah rute. “Benar kami menutup rute. Maskapai lain juga menutup banyak rute tapi tidak mereka umumkan,” kata Rombeek. Hingga kini Mandala belum memastikan sampai kapan penutupan sementara itu akan berlangsung. Cuma, menurut Surya, pada April nanti, direksi perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Saratoga—perusahaan milik Sandiaga Uno—itu akan mengevaluasi perlutidaknya keputusan itu dihapus.
Selain Mandala, Lion Air melakukan efisiensi untuk meredam bertambahnya biaya operasional akibat pelemahan nilai tukar rupiah maupun lonjakan harga avtur. Sayangnya, berbeda dengan Mandala, Lion Air enggan mengungkap bentuk efisiensi yang dilakukan untuk mengerem peningkatan beban biaya operasional. “Ya, rahasialah, masak strategi saya buka ke publik, yang benar saja,” kata Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait.
Efisiensi, menurut dia, merupakan langkah wajar yang diambil maskapai penerbangan sebagai akibat kenaikan beban biaya operasional. Bentuknya pun bermacam-macam, salah satunya pengurangan frekuensi penerbangan ataupun penghentian sementara rute penerbangan tertentu.
PAUL Rombeek, Presiden Direktur PT Mandala Airlines, mengungkapkan bahwa melemahnya nilai rupiah menghantam bisnis mereka. Strategi untuk mengatasinya, secara umum, adalah menaikkan tarif dan menutup sementara rute yang kurang ramai.
Apa strategi Anda akibat jatuhnya nilai tukar rupiah?
Jelas bagi semua orang bahwa isu besarnya adalah, untuk mengkompensasi melemahnya rupiah, tarif harus naik. Tarif harus naik karena biaya naik sekitar 30 persen. Melemahnya rupiah berdampak langsung pada kenaikan biaya maskapai penerbangan karena pengeluaran semuanya dalam bentuk dolar.
Pada saat yang sama, kami akan memusatkan perhatian pada rute-rute yang kami pandang terbaik bagi kami. Itu sebabnya, dalam low season ini, kami memutuskan mengubah atau menutup sementara rute yang membutuhkan lebih banyak investasi.
Apakah penutupan hanya sementara saat low season?
Rencananya, kami akan kembali sesegera mungkin, hanya sementara. (Misalnya rute) Surabaya-Hong Kong, kami berencana buka kembali, tapi belum dipastikan tanggalnya. Kami akan melihat bagaimana (keadaan)... ada volatilitas dan ketidakpastian di pasar sekarang. Rute-rute itu kami percaya (bagus), tapi sekarang membutuhkan investasi. Benar kami menutup rute. Maskapai lain juga menutup banyak rute tapi tidak mereka umumkan.
Bagaimana load factor (tingkat jumlah penumpang) Surabaya-Bangkok?
Kami tidak buka angka load factor, tapi rute Surabaya-Bangkok itu rute bagus. Persaingan ke sana, kami terbang ke bandara yang di kotanya, Suvarnabhumi, yang memiliki akses internasional lebih bagus dan bagi sejumlah penumpang memiliki daya tarik lebih bagus. Saat memulainya, kami cukup gembira, sehingga terbang tiap hari. Tapi, akibat situasi di bangkok, kami memutuskan menghentikan rutenya.
Bagaimana rute lain?
Jika Anda melihat rute Jakarta-Hong Kong, itu adalah keberhasilan besar bagi kami. Kami diuntungkan merek grup kami, Tiger Air, sudah dikenal baik di Hong Kong. Di rute itu, 90 persen penumpang kami berasal dari Hong Kong atau Cina daratan. Hanya sedikit yang datang dari Bali. Load factor di rute itu juga sangat tinggi. Juga Jakarta-Singapura, kami terbang lima kali sehari. Tiger Air Singapura terbang empat kali sehari, jadi ada sembilan penerbangan dalam total grup.
Bagaimana bersaing di pasar low cost dengan AirAsia dan Citilink?
Saya ingin membedakan antara Citilink dan AirAsia. Citilink hanya terbang domestik, jadi mereka hanya berfokus pada penerbangan domestik. Sedangkan kami 80 persen penerbangan internasional. Juga karena mereka 100 persen dimiliki Garuda Indonesia, mereka mendapat penumpang dari induk perusahaan.
AirAsia lebih mirip kami. Mereka lebih lama dan lebih besar armadanya, tapi mirip kami, penumpangnya sama, rutenya juga sama. Jadi bagaimana kami bersikap? Kami berfokus pada on time performance (ketepatan waktu), pada keselamatan, pada reliabilitas.
Pertumbuhan pasar sangat cepat, pertumbuhan penumpang bakal naik 15 persen tahun ini. Memang kapasitas (jumlah pesawat termasuk dari pesaing) bertambah, tapi pasar masih tetap tumbuh. Masalahnya bukan soal kapasitas berlebih, tapi kombinasi antara kapasitas bertambah dan biaya melonjak. Saya tidak percaya, kami tidak percaya, ini adalah saatnya untuk tumbuh. Jadi kami memutuskan saat ini untuk mengurangi (ekspansi) dan bertahan.
Apa rencana Mandala dalam 5-10 tahun mendatang, apalagi pesaingnya menambah ratusan pesawat?
Banyak pesawat yang sudah dipesan grup-grup lain. Tapi pertanyaannya bagi kami, di mana mereka akan menaruh pesawatnya? Mungkin kami sedikit berhati-hati dalam order pesawat dan artinya juga dalam ambisi masa depan. Tapi, pada akhirnya, ini adalah soal keuntungan bagi bisnis dan pertumbuhan yang aman. Jadi kami tetap akan tumbuh, tapi tumbuh dengan cara bertanggung jawab dan aman. sumber:detik
Belum ada tanggapan untuk "Melorotnya nilai tukar rupiah membuat maskapai penerbangan menjerit"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism