SAAT ini jumlah
pesawat Lion Air cukup banyak, di atas 100 buah. Meski beberapa pesawat sedang bermasalah, jumlah ini cukup besar untuk ukuran maskapai penerbangan mana pun. Apalagi ratusan lagi sudah dipesan
maskapai penerbangan murah ini dari Boeing di Amerika Serikat dan Airbus di Eropa.
Setiap kali mengingat jumlah pesawat ini, muncul pertanyaan: dari mana Lion Air mendapat modal pembelian? Maskapai ini enggan memberitahukan urusan dapurnya. “Mohon maaf, saya tidak bisa memberikan info karena ada kesepakatan,” kata Edward Sirait,
Direktur Umum Lion Air, tanpa menjelaskan kesepakatan dengan siapa saat ditanya soal pembelian pesawat. Jumlah pesanan Lion Air memang sangat spektakuler. Pada 2011, di depan Presiden Barack Obama, Lion Air menandatangani nota pembelian 230 Boeing 737 dengan nilai US$ 22 miliar (Rp 282 triliun). (sumber:majalahdetik)
Dua tahun kemudian, maskapai ini membeli produk pesaing, Airbus A320, sebanyak 234 buah dengan nilai US$ 24 miliar (Rp 307 triliun). Kalaupun Lion mendapat diskon sangat besar, seperti lazimnya pembelian pesawat di mana pun, angka ini masih sangat besar.
Dari mana Lion mendapatkan dana pembelian pesawat?
Dari sejumlah data yang berseliweran di Internet, sejumlah pola digunakan Lion Air untuk menambah jumlah pesawat ini. Yang pertama memanfaatkan pinjaman dari bank ekspor impor milik pemerintah Amerika Serikat, Export-Import Bank. Bank ini dua tahun silam, misalnya, mengeluarkan siaran pers soal pengucuran akhir komitmen pembiayaan Boeing 737-900ER kepada Lion Air. Komitmen ini nilainya US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 14 triliun). Dalam siaran pers itu disebutkan bahwa Export-Import memberi jaminan pembiayaan yang dikucurkan Apple Bank for Savings. Pembiayaan lain dilakukan lewat obligasi yang dijamin oleh Export-Import Bank pula. “Ini kesempatan besar bagi eksportir Amerika dan akan membantu menjaga ribuan lapangan kerja di industri penerbangan Amerika Serikat selama beberapa tahun mendatang,” ujar Presiden dan Chairman Export-Import Bank Fred P. Hochberg saat itu.
Export-Import Bank ditugasi pemerintah Amerika Serikat untuk menggenjot ekspor negara itu. Caranya, mereka memberi jaminan kepada lembaga keuangan yang mengucurkan kredit kepada perusahaan asing pembeli produk negara itu. Kadang bank ini memberi pinjaman langsung kepada perusahaan asing tersebut, sehingga produk lokal bisa lebih bersaing.
Peran Export-Import Bank yang banyak membantu maskapai asing mendapat kredit lebih murah ini pernah diprotes maskapai lokal Amerika Serikat. Asosiasi maskapai penerbangan Amerika Serikat, Airlines for America (AFA), misalnya, menyatakan bantuan Export-Import Bank membuat maskapai asing lebih kuat, sedangkan maskapai dalam negeri tidak dibantu.
Lion juga menggunakan pola sale-and-leaseback untuk sejumlah pesawat yang mereka pakai. Sistem ini digunakan maskapai yang sudah memesan pesawat. Begitu pesawat selesai dibuat, langsung dijual kepada perusahaan leasing. Nah, maskapai kemudian menggunakan pesawat ini dengan status meminjam untuk jangka panjang. Pola ini membuat perusahaan seperti Lion atau apa pun bisa memanfaatkan uang hasil penjualan untuk keperluan lain tapi masih tetap bisa menggunakan aset yang sudah dijualnya. Akhir September tahun lalu, misalnya, perusahaan leasing pesawat dari Irlandia, Amentum, mengeluarkan siaran pers yang mengumumkan menerapkan pola ini dengan Lion Air untuk dua Boeing 737-900ER. Pesawat tersebut dioperasikan Lion.
Dengan berbagai cara ini, tak aneh jika seorang pejabat tinggi di pemerintah Indonesia mengatakan investasi Lion Air untuk membeli pesawat itu kecil. Modal Lion Air lebih pada kemampuan maskapai ini menunjukkan taji sehingga menguasai pasar Indonesia. “Karena kepercayaan dari dunia internasional, jadi dapat dukungan finansial,” katanya.
|
Lion Air mengembangkan bisnisnya dibantu oleh Pemerintah Amerika |
Belum ada tanggapan untuk "Lion Air mengembangkan bisnisnya dibantu oleh Pemerintah Amerika"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism