Bandar udara (bandara) merupakan infrastruktur penting. Bandara juga berkembang menjadi sentra perkembangan ekonomi baru. Bagaimana Indonesia mengimplementasikannya? Berikut uraian wartawan SP Yohanes Harry Douglas.
Perkembangan dunia penerbangan yang pesat membuat transportasi udara tidak hanya menjadi moda perpindahan orang (penumpang), namun juga menjadi moda perpindahan barang.
Bahkan, dalam dua dekade terakhir, keberadaan bandara tidak hanya sekadar infrastruktur penerbangan. Namun, melahirkan banyak aktivitas ekonomi dan menghidupkan perekonomian kawasan. Tak heran, meski bandara dibangun di ‘pinggiran’ yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tak lama kemudian berbagai kegiatan ekonomi akan bermunculan di sekitar bandara. Di era globalisasi ini, bandara telah bertransformasi dari sekedar node of transport menjadi node of economy.
Contoh paling dekat adalah
Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Bandara yang terletak 20 kilometer dari Jakarta ini, dibangun untuk menggantikan Bandara Kemayoran yang telah padat dan dikepung berbagai bangunan perkotaan. Bandara yang dirancang arsitek Prancis, Paul Andreu ini kemudian dioperasikan pada 1985 dan menjadi bandara terbesar di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, lonjakan penumpang terjadi sangat cepat. Pada tahun 2001, jumlah penumpang bandara ini baru 11,8 juta.
Namun, pada tahun 2004 jumlahnya telah meningkat menjadi 26 juta, padahal kapasitasnya hanya 22 juta. Di tahun 2009, jumlah penumpang telah meningkat menjadi 37 juta dan menjadi bandara ke-22 tersibuk di dunia. Setahun kemudian, Soekarno-Hatta sukses menjadi juara Asia Tenggara dengan jumlah penumpang 44,3 juta dan menempati ranking ke-16 dunia. Pada 2013 lalu, jumlah penumpang Bandara Soekarno-Hatta telah mencapai 62,1 juta jiwa dan menjadi bandara ke delapan terpadat di dunia.
Tak hanya jumlah penumpang yang meningkat signifikan. Wilayah sekitar bandara juga mengalami perubahan. Mulai dari hotel, perkantoran, perumahan hingga pabrikpabrik kini menjamur di sekitar kawasan bandara.
Hal ini membuat akses ke bandara dengan kode CGK tersebut menjadi susah. Kemacetan panjang di jalan menuju bandara sudah merupakan makanan sehari-hari. Apalagi, hanya ada satu akses ke bandara. Penumpang tidak memiliki pilihan lain seperti kereta, sebagaimana lumrah di kota-kota besar dunia lainnya.
Padahal di era modern ini, aksesibilitas menjadi kunci dalam kompetisi. Fakta tersebut terjadi tak hanya di Jakarta. Sejumlah kota besar lain, juga menghadapi persoalan serupa. Karenanya, dibutuhkan transformasi dalam membangun dan mengelola bandara. Apalagi, keberadaan bandara terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cukup membanggakan. Di tengah guncangan ekonomi dunia, perekonomian Indonesia dapat tumbuh di kisaran enam persen setiap tahunnya.
Banyak kalangan meyakini, jika infrastruktur Indonesia ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, maka ekonomi Indonesia dapat tumbuh double digit. Karena itu, pembangunan dan pengelolaan bandara dengan sistem modern menjadi kemutlakan.
Sebagai salah satu pengelola bandara di Indonesia, PT Angkasa Pura II menyadari betul hal ini. Belajar dari pengalaman Soekarno-Hatta, pihaknya tidak ingin mengalami masalah serupa. “Sekarang kita akan membangun bandara-bandara kita dengan konsep aerotropolis. Kami siap untuk fokus mengerahkan energi dan waktu untuk itu,” ujar Direktur Utama PT Angkasa Pura II, Tri Sunoko, saat berbincang dengan SP di Jakarta, akhir pekan lalu.
Apa itu Aerotropolis
Aerotropolis adalah pengembangan dari konsep aerocity merupakan konsep paling modern dalam pembangunan dan pengelolaan bandara dewasa ini. Dalam konsep aerocity, bandara dirancang menjadi sebuah kota yang di dalamnya terdapat sejumlah kegiatan bisnis.
Pada konsep aerotropolis, konsep ini diperluas dengan mengintegrasikan bandara dengan kawasan di sekitar bandara dengan radius hingga 30 kilometer dan dampak ekonomi sampai 70 kilometer.
Aerotropolis pertama kali dikemukakan oleh profesor dari The University of North Carolina, John D. Kasarda. Dalam konsep Kasarda, bandara hanya bisa efektif memberikan dampak ekonomi jika dirancang dan dikelola secara terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya.
Jadi, Kasarda menempatkan bandara sebagai pusat kegiatan ekonomi yang dikelilingi berbagai fasilitas pendukung seperti perkantoran, area komersial, area hiburan, layanan kesehatan kelas dunia, sarana pendidikan dan berbagai industri terkait lainnya.
Pengembangan di dalam pagar bandara akan dikoordinasikan langsung oleh pengelola bandara. Pihak bandara juga dapat bekerjasama dengan investor untuk mengembangkan kawasan tersebut. Sementara untuk kawasan di luar bandara, dibuka untuk para investor.
Bagi bandara sendiri, konsep aerotropolis akan memberikan keuntungan di luar pendapatan konvensional namun pada konsentrasi investasi bisnis. Saat ini, transaksi ekonomi pada bandara dan kawasan sekitarnya di Indonesia belum maksimal. Secara agregat besarannya tertinggal jauh dari bandara internasional lain yang dianggap sebagai model aerotropolis di dunia. Sebagai bandara terbesar di Indonesia, total transaksi ekonomi di bandara Soekarno-Hatta hanyalah 2,8 persen dari bandara Dubai dan 4,1 persen dari Heathrow-London. Bila dibandingkan dengan kepadatan penumpang yang tidak jauh berbeda, jumlah ini sangat kecil.
Tiga Syarat
Menurut Kasarda, konsep aerotropolis harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama adalah membangun wilayah sekitar bandara dengan hotel, perkantoran, ritel, factory outlet dan pusat bisnis lainnya. Hal ini akan membuat wisatawan atau pengunjung yang singgah di bandara tidak kesulitan untuk mengakses fasilitas-fasilitas perekonomian. Kedua, menyediakan transportasi yang beragam dan saling terhubung dengan bandara.
Transportasi kereta api, bus pengumpan, jalan tol, dan transportasi publik lainnya mutlak terhubung dengan bandara. Ketiga, menyediakan dan membangun fasilitas pengangkutan logistik di sekitar bandara.
Sejumlah bandara terkemuka dunia, seperti Incheon di Korea Selatan, Miami di Amerika Serikat hingga Schiphol di Belanda telah menerapkan konsep ini. Sebagai langkah awal, konsep ini akan diaplikasikan secara penuh di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Lokasi yang strategis berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan areal sekitar yang masih sangat luas adalah kemewahan Kualanamu yang tidak dimiliki Soekarno-Hatta.
Bandara yang dibangun untuk menggantikan peran Bandara Polonia ini, memiliki 680 hektare lahan di dalam kawasan bandara yang dapat dikembangkan sebagai area komorsial.
Sementara di luar pagar bandara, masih tersedia lebih dari 10 ribu hectare lahan yang dapat dikembangkan. Dari sisi aksesibilitas, selain memiliki jalan tol, bandara dengan kode KNO ini merupakan bandara pertama di Indonesia yang memiliki akses kereta api. Dengan waktu tempuh hanya 37 menit, para penumpang dapat tiba di pusat kota Medan.
Menilik luasnya lahan tersebut, potensi menerapkan Aerotropolis memang di depan mata. Apalagi, AP II mengaku sudah menjalin komunikasi dengan PTPN II sebagai pemilik lahan mayoritas di sekitar bandara. “Kami sudah berjumpa dengan mereka dan disambut positif. Sebab yang akan membangun bukan kita, tapi mereka. Jadi ini peluang bisnis,” kata Tri.
Selain dengan PTPN II, Tri menyatakan pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan para pemilik lahan lainnya. Sesuai dengan konsep aerotropolis, Tri menyatakan, area di luar pagar bandara akan menjadi tempat investasi yang menarik bagi para investor, baik swasta maupun BUMN. “Di situ mereka bisa membangun. Bagi daerah, kegiatan ekonomi berjalan dan pasti memberikan dampak positif bagi masyarakat,” katanya.
Keseriusan AP II mewujudkan Kualanamu sebagai bandara aerotropolis juga ditunjukkan dengan menggandeng langsung John D Kasarda sebagai konsultan. “Kualanamu bisa dikembangkan menjadi kawasan Aerotropolis, seperti Schipol di Amsterdam dan Incheon di Korea Selatan. Di dalam Schipol sudah terdapat kegiatan ekonomi, bahkan kantor Microsoft berada di Schipol,” ujar Kasarda.
Kasarda menjelaskan, konsep aerotropolis dapat menjawab tantangan pertumbuhan ekonomi yang merata dalam cakupan wilayah Indonesia yang sangat luas. Sebab, konsep aerotropolis bertujuan meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang meletakkan bandara sebagai pusat pertumbuhan dan konektivitas dengan pasar global. Melihat potensi dan wilayah sekitar Kualanamu, Kasarda optimistis bandara kebanggan masyarakat Sumatera Utara tersebut dapat menjadi bandara Aerotropolis.
Dengan semua kelebihan itu, tak salah jika Kualanamu ditargetkan menjadi bandara aerotropolis pertama di Nusantara. Namun, Kasarda menekankan pentingnya kesamaan visi antara pengelola bandara, maskapai, dan pemerintah setempat. “Pengelola bandara, maskapai, dan pemerintah setempat saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak bisa ada yang lebih kuat, ketiganya harus saling mendukung,” jelasnya. Karena itu, Tri menyatakan AP II terus menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah, baik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Pemerintah Kabupaten Deli Serdang maupun DPRD setempat. “Saat ini kami sedang menyiapkan penerapan konsep aerotropolisnya.
Namun aplikasi aerotropolis juga harus mendapat dukungan payung hukum. Ini yang kami komunikasikan,” kata Tri. Komunikasi tersebut mulai membuahkan hasil. Konsep aerotropolis yang ditawarkan AP II disambut baik oleh Pemprov Sumut. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho menyatakan akan mendukung sepenuhnya pengembangan Kualanamu sebagai model Bandara Aerotropolis di Indonesia. Karena itu, Pemprov akan memberikan dukungan agar konsep aerotropolis disinergikan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dimasukkannya aerotropolis dalam RTRW memang menjadi kunci dalam keberhasilan konsep ini. Sebab, aturan hukum tersebut akan mengunci semua pembangunan yang ada di dalam dan kawasan sekitar bandara. “Kalau sudah dalam RTRW kan itu jelas aturannya. Jadi orang membangun sesuai aturan, tidak bisa asal bangun.
Sehingga, tidak ada persaingan yang tidak sehat, tapi justru semuanya saling menunjang karena sudah diatur sejak awal,” kata Tri. Kejelasan peraturan tersebut, lanjutnya, akan menjadi daya tarik bagi investor yang ingin berinvestasi. Jika konsep aerotropolis berhasil masuk dalam RTRW Pemprov Sumut, maka AP II harus bergerak cepat. Yang segera harus dilakukan adalah mengembangkan Kualanamu sebagai hub untuk angkutan logistik udara dan lahan di sekitarnya sebagai aerocity. AP II harus menggandeng investor untuk mengembangkan aktifitas ekonomi di kawasan bandara.
Cepat
Dalam era modern, banyak komoditas yang hanya bisa diangkut dengan menggunakan pesawat. Produk-produk teknologi yang perkembangannya sangat cepat biasanya diangkut pesawat.
Karenanya, AP II harus mengembangkan bandara dengan cepat. Sebab, baru satu tahun beroperasi, kapasitas Kualanamu sudah penuh. AP II harus segera melanjutkan pembangunan Kualanamu ke fase dua dan fase tiga. Sebagaimana direncanakan, pada fase dua bandara akan dikembangkan sehingga memiliki kapasitas 15 juta penumpang dan 90 ribu ton kargo.
Pada fase tiga diharapkan bandara dapat menampung 22 juta penumpang dan 115 ribu ton kargo. Apalagi, di Sumut kini tengah dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei dan Pelabuhan Internasional Kuala Tanjung. Jika berjalan sesuai target, maka lonjakan penumpang dan kargo di Bandara akan meningkat signifikan dalam 10 tahun ke depan.
Ketiga lokasi ini ditambah dengan Pelabuhan Belawan yang sudah berdiri terlebih dahulu harus dikoneksikan dan menjadi koridor utama ekonomi di Sumut bahkan di kawasan barat Indonesia. “Kalau koneksinya sudah baik, maka ke depan ini akan menjadi Free Trade Zone. Inilah yang akan meningkatkan ekonomi kawasan,” kata Tri.
Keberadaan koridor ekonomi ini, juga menjadi solusi bagi pemerataan ekonomi. Memang, bila dibandingkan dengan kawasan timur Indonesia, perekonomian Sumatera masih lebih baik. Namun, apabila dibandingkan dengan Pulau Jawa, Sumatera masih tertinggal. Padahal, Sumatera berada di hadapan Selat Malaka yang sejak zaman kolonial sudah terbukti sebagai daerah strategis yang berdampak ekonomi besar. Singapura dan Malaysia sudah membuktikannya. Meski lebih kecil wilayah dan jumlah penduduk dari Indonesia, dua negara tersebut lebih maju dari Indonesia.
Untuk itu, keberadaan Kualanamu sebagai bandara aerotropolis dengan sokongan
KEK Sei Mangkei, Kuala Tanjung dan Belawan akan menjadi garda terdepan kompetisi Indonesia dengan dua negara tersebut. Apalagi, Indonesia kaya dengan komoditas, mulai dari perkebunan, tambang hingga kelautan. Tak perlu jauhjauh, di sekitaran bandara Kualanamu masih banyak kebun sawit. Karenanya, koridor ini bukan hanya memberikan dampak ekonomi bagi Sumatera Utara namun juga bagi provinsi lain di Pulau Sumatera.
Keberadaan bandara biasanya memberi kontribusi sebesar lima persen bagi produk domestik bruto (PDB) daerah. Namun, dengan konsep aerotropolis, bandara akan berdampak multiplier effect yang tinggi bagi perekonomian daerah sehingga dapat memberi kontribusi sebesar 15 sampai 30 persen bagi PDB daerah. AP II memperkirakan, bila konsep aerotropolis mulai diterapkan saat ini, maka pada 2065, kawasan Sumatera Utara akan menjadi seperti Singapura saat ini. PDB per kapita masyarakat Sumut diperkirakan US$ 50 ribu dengan populasi 15,8 juta jiwa. “Memang jalannya panjang. Menurut Kasarda untuk sepenuhnya aerotropolis itu memakan waktu 20 sampai 30 tahun. Tapi kalau dari sekarang kita semua sudah sepakat, roadmapnya jelas, maka pembangunannya akan selaras dengan itu. Saya optimistis ini akan terwujud,” tutur Tri dengan percaya diri. Sumber:SP
agar di kemudian hari tidak menjadi problem dan menjadi tontonan yang menyakitkan, tata ruang wilayah sangat perlu. Dari semenjak dini instansi terkait harus berperan aktip dan jangan ada kesan pembiaran . Agar lebih gamblang dan jelas mari kita kupas satu persatu , untuk saat ini saja jalan ke Bandara Kuala Namu tidak jauh dari asrama Brimob jln Batang Kuis badan jalan sudah dipergunakan sebagai pasar atau sarana berdagang walaupun tidak setiap hari.
ReplyDeleteJika semenjak dini ini telah ditertibkan dan dibuat alokasi khusus itu sangat baik, sebab jalan raya tersebut adalah jalan raya internasional yang dilalui oleh berbagai bangsa. Hal lain mengapa kami mengatakan menjadi tontonan yg menyakitkan tertuju kepada bangunan liar. Awalnya hanya bangunan darurat lambat laun berubah
ReplyDeletemenjadi permanen , kemudian hari merasa menjadi pemilik yg sah. Singkat kata terjadi penggusuran di kemudian hari mereka bertahan sekuat tenaga di tambah lagi propokator yg lain. Inilah yg kerap terjadi , dan menjadi tontonan yg memilukan.Jadi untuk menuju mimpi Kuala Namo Aerotropolis mohonlah ini menjadi
ReplyDeletelah ini menjadi perhatian bersama terutama instansi yg berwenang. Dan kami melihat sudah bermunjulan bangunan seperti itu dan sarana berdagang seperti itu.Dan sangat tidak etis jika di sebut dalam komentar ini.Komentar ini memgingatkan apa yang telah diingat. Deli Serdang jaya.mejuah juah , Hoooras.
ReplyDelete