Kebijakan
ASEAN OPEN SKY
yang dimulai tahun depan masih sangat terbatas. Rute gemuk dalam negeri tetap
dilindungi pemain asing. Gedung berlantai 6 yang menjadi kantor pusat
AirAsia
di Indonesia bertengger tepat di luar garis pembatas kompleks Bandara Soekarno-
Hatta. Nyaris sekitar dua menit sekali, dua pesawat mendarat bersamaan di ujung
dua landasan paralel bandara itu. Dari lantai atas gedung itu pula salah satu
pesawat milik maskapai sedang parkir di tarmak.
Di atap gedung itu dicat logo AirAsia yang besar, mungkin hampir
seukuran separuh lapangan basket. Logo itu diberi lampu sorot sehingga
tulisannya bakal mencolok pada malam hari. “Penumpang pesawat yang duduk di
kiripasti melihatnya,” kata salah satu eksekutif Indonesia AirAsia yang,
seperti rekan-rekannya di kantor itu,
berpakaian sangat santai, yakni kaus
oblong, jins, dan sepatu olahraga.
Maskapai penerbangan AirAsia lahir di Malaysia
Kehadiran maskapai yang lahir di Malaysia itu memang sangat mencolok di
Indonesia, dan ini bukan cuma urusan
logo di atas kantor pusat mereka. Model bisnis AirAsia, yang memiliki anak usaha
di Indonesia dan negara-negara lain, menjadi salah satu cara mereka menyiasati
kebijakan pasar tunggal industri penerbangan (ASEAN Open Sky Policy) yang tidak
kunjung datang ke wilayah ini.
Bahkan tahun depan, saat disebut-sebut Open Sky sudah berjalan, pun
masih sangat terbatas lingkupnya, dalam istilah industri adalah Fifth Freedom
(kebebasan kelima atau, menurut istilah Alvin Lie yang saat menjadi anggota
DPR masuk Kaukus Penerbangan disebut
“derajat kelima”) dari 9 tingkat yang
ada.
Kebebasan pertama itu pesawat hanya boleh lewat di atas wilayah udara
negara lain dan tingkat kesembilan, tertinggi, itu saat pesawat negara lain
boleh mengambil rute domestik negara
lain. Misalnya Thai Airways mengambil rute Surabaya-Makassar pulang-pergi.
Sedangkan derajat kelima itu cuma memungkinkan pesawat asing singgah di
satu negara lain untuk kemudian terbang
ke negara lainnya lagi.
Misalnya Thai Airways singgah di
Denpasar, untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, sebelum kemudian
terbang ke Sydney di Australia. “Untuk ASEAN Open Sky tahun depan itu baru
sampai derajat 3, 4, dan 5,” kata Alvin Lie.
Selain itu, kota yang dibuka untuk Open Sky tahap awal ini baru
lima buah di Indonesia. Semua merupakan kota besar, yakni Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar.
Dengan hanya derajat 5 saja yang diputuskan, penerbangan antarkota dalam negeri
tidak akan dimasuki pesawat asing.
Pesawat Thailand, misalnya, tidak bisa terbang dari Bangkok ke Jakarta
kemudian diteruskan ke Surabaya. “Aturannya belum sampai ke sana,” ucap Alvin.
Maka rute gemuk JakartaSurabaya tetap tidak bisa dimasuki maskapai asing, meski
kedua kota ini masuk daftar bandara di
kebijakan ASEAN Open Sky.
Kalaupun pesawat Thailand itu mau meneruskan penerbangan, harus ke luar
Indonesia, misalnya Bangkok-Jakarta-Manila. Sebelumnya sejumlah bandara sudah
dibuka di Indonesiau untuk asing, tapi biasanya maskapai mereka masuk lewat perjanjian
antara Indonesia dan negara bersangkutan, dan kebanyakan derajat 2 atau 3.
Jadi, Singapore Airlines bisa ke Jakarta, tapi dari Jakarta harus balik
lagi ke Singapura. De ngan kesepakatan Open Sky ini, tidak perlu lagi
ada kesepa katan antara Indonesia dan Thailand, semisal saat Sriwijaya Air
hendak menerbangi Chiang Mai.
Analis dari Maybank Kim Eng, Mohshin Aziz, tahun lalu menyebut hambatan
Open Sky itu datang terutama dari Indonesia. Indonesia, yang memiliki 40 persen penduduk ASEAN dan
bandara internasionalnya mencapai 36 persen di kawasan ini, merasa bakal
dirugikan. “Negara lain akan diuntungkan,” tulis Mohshin tahun lalu.
Singapura, misalnya, hanya memiliki satu bandara. Jika maskapai dari
Singapura mengambil rute Surabaya-Makassar pulang-pergi, Indonesia merasa
dirugikan. Sebab, maskapai Indonesia tidak bisa mengambil langkah yang sama
karena tidak ada rute dalam negeri di Singapura.
Maskapai penerbangan di Indonesia cemas
Maskapai Indonesia cemas, jika pasar Indonesia dibuka sepenuhnya, mereka
akan kesulitan bersaing. Ini karena biaya operasi maskapai yang lebih mahal di
Indonesia. Direktur Utama Citilink, Arif Wibowo, mengeluhkan harga bahan bakar
yang sekitar 10 persen lebih tinggi di
Indonesia daripada negara ASEAN lain. “Avtur saja kita menghadapi perbedaan harga yang
cukup signifikan karena berbeda 13 persen dengan negara ASEAN lain, kita lebih
mahal,” tambah Arif.
Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air, mengatakan, jika ingin maskapai
Indonesia berkompetisi dalam Open Sky, kebijakan yang berlaku bagi maskapai di
negara ASEAN lainnya juga berlaku di Indonesia. “Jika tidak, bagaimana mau
berkompetisi, tanding saja sudah berat, bagaimana mau menang?” kata Edward.
Dengan kondisi pasar domestik yang tertutup ini, satu-satunya cara untuk
masuk pasar antar kota dalam negeri adalah membuat anak usaha di negara sasaran. Ini yang
dilakukan oleh AirAsia di banyak negara, termasuk Indonesia, serta Lion Air di
Malaysia dan Thailand. “Sayang, selain Lion Air, maskapai milik orang Indonesia
lainnya belum memiliki ancang-ancang model bisnis seperti Lion Air,” kata Alvin. Itu sebabnya, kehadiran
AirAsia dan lewat anak usaha nya, yakni PT Indonesia AirAsia sangat mencolok di
Bandara Soekarno-Hatta. Sumber:majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Berkuasanya maskapai penerbangan asing di Indonesia"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism