Ada banyak anekdot tentang buruknya kualitas
dunia penerbangan di Indonesia. Chappy Hakim melontarkan dua di antaranya dalam acara peluncuran dan bedah buku
Believe It or Not karyanya di toko buku Gramedia Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat, 7 November lalu. Ini adalah buku kesekian belas Chappy yang bahannya diambil dari tulisan-tulisan di blog pribadinya.
Dunia penerbangan Tanah Air, kata mantan Kepala Staf Angkatan Udara itu, tengah dikagumi kalangan internasional karena hampir semua persyaratan untuk terjadinya kecelakaan pesawat terbang sudah dipenuhi, tapi kecelakaan yang fatal tidak kunjung terjadi.
Sementara itu, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang demikian padat dan sibuk, oleh banyak pilot senior dari maskapai penerbangan internasional dikategorikan sebagai bandara yang outdated. Karena itu, kapten pilot yang mampu mendaratkan pesawatnya dengan selamat, terutama pada jam-jam sibuk, maskapai tempatnya bekerja akan melepas dia ke tujuan mana saja di permukaan bumi ini.
“Itu karena Soetta (Soekarno-Hatta) dianggap sebagai bandara tersulit di dunia,” kata Chappy disambut tawa hadirin.
|
Carut marutnya dunia penerbangan Indonesia |
Tawa yang sesungguhnya lebih terasa untuk menutupi rasa miris dan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan yang disampaikan tersebut. Terlalu banyak contoh kecelakaan pesawat di Tanah Air yang mengundang banyak tanya. Kasus pesawat Boeing 737-300 dari Jakarta dengan tujuan Makassar tapi malah mendarat di Tambolaka, Nusa Tenggara Timur, pada Februari 206, misalnya. Atau Adam Air tujuan Manado yang jatuh di perairan Majene dan menewaskan semuapenumpangnya pada awal 2007.
Kasus Tambolaka menjadi contoh lengkap betapa buruknya semua sektor yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan operasional penerbangan di Indonesia. Mulai kualitas sumber daya manusia, perawatan pesawat, pengawasan, penegakan aturan, hingga lika-liku mudahnya perizinan diperoleh.
Berbagai permasalahan yang terjadi di dunia penerbangan nasional itu membuat kasta Indonesia diturunkan oleh Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) pada 2007, dari kategori satu ke kategori dua. Artinya, sistem penerbangan Indonesia tidak cakap dalam memenuhi segala jenis standar kelayakan, mulai keamanan hingga kenyamanan.
Keputusan tersebut berdasarkan temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) atas 121 bentuk pengaturan yang dianggap tidak layak. Salah satu poin ketidaklayakan Indonesia adalah tidak adanya hukuman atau sanksi yang serius apabila terjadi pelanggaran dalam dunia penerbangan. Berdasarkan penilaian ini, Indonesia hanya memenuhi 54 persen dari total standar.
Acara yang dipandu Direktur Pemberitaan Metro TV Suryopratomo itu dihadiri mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, Kepala Staf Angkatan Udara periode 1993-1996 Marsekal Rilo Pambudi, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi, dan pengacara senior Adnan Buyung Nasution.
Buku setebal 182 halaman ini, menurut Chappy, semula dimaksudkan sebagai executive summary bagi presiden terpilih. Namun, karena selama ini masukan yang dikirimkan kepada presiden sering kali tak tepat sasaran, akhirnya ia memutuskan menjadikannya sebuah buku. “Agar bisa dibaca oleh publik secara lebih luas,” ujarnya.
Hal lain yang mengemuka dan mendapatkan respons emosional dari hadirin adalah ihwal flight information region (FIR) Singapura. Hampir 70 tahun kedaulatan udara Indonesia dikendalikan Negeri Singa. Setiap penerbangan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru atau dari Pulau Natuna ke Batam harus meminta izin kepada otoritaspenerbangan Singapura.
Banyak contoh betapa para penerbang kita, baik sipil maupun militer, mendapatkan perlakuan diskriminatif dari otoritas penerbangan Singapura. Kapten Pilot Christian Bisara, yang menjadi pembahas buku itu, mengaku pernah diminta menurunkan ketinggian pesawat Garuda yang dikendalikannya karena jalur yang dilalui akan digunakan pesawat lain. “Ini kurang ajar betul. Saya sempat menolak dan menyampaikan nota protes,” katanya.
Untuk mengambil alih kembali kedaulatan wilayah udara itu, menurut Christian dan beberapa penanggap lainnya, perlu kemauan dan tekad yang kuat dari otoritas terkait, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri.
“Kita juga harus menyiapkan tim hukum yang mumpuni, solid, punya nasionalisme tinggi,” Zacky menambahkan.
Sebab, pengalaman menunjukkan, Indonesia beberapa kali kalah saat bersengketa dengan Singapura di pengadilan internasional. Sebagai langkah serius, seorang mantan penerbang Polri mengusulkan agar segera dibentuk relawan dari para pensiunan KSAU, Kementerian Perhubungan, dan pihak lainnya. “Biar Pak Jusman yang memimpin dan bicara dengan Presiden Jokowi tentang urgensi isu ini,” ujarnya. Jusman cuma manggut-manggut dan tersenyum simpul. Sumber:majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Carut marutnya dunia penerbangan Indonesia"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism