Kasus sengketa Bandara Halim Perdanakusuma yang melibatkan Induk Koperasi TNI Angkatan Udara (Inkopau) dengan PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo.
Menurut Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia, Jokowi meminta agar bandara Halim Perdanakusuma tetap harus diprioritaskan untuk kepentingan operasional TNI AU. "Harus tetap di sana," kata Ida Bagus usai menghadap Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 22 Okktober 2014.
Ida juga menceritakan kepada Jokowi mengenai asal usul sengketa itu. Permasalahan itu, kata Ida berasal dari tahun 2005. Di mana, pada waktu tersebut penerbangan sipil bekerjasama dengan PT ATS. Namun, peraturannya penerbangan itu dilaksanakan oleh Inkopau.
"Namun setelah berikutnya, Angkasa Pura masuk lagi di sana maka diajukanlah prosesnya di pengadilan. Saya tidak tahu hasilnya bagaimana yang pasti dalam perjanjiannya itu adalah pengoperasian bandaranya saja. bukan pangkalannya," kata dia. Jadi, TNI AU tetap akan memperjuangkan kepentingannya untuk operasional dan latihannya.
"Kelebihan itulah yang belum kita maksimalkan, itulah perjanjiannya. lebih dari itu harus dibuat kesepakatan lagi. jadi TNI AU akan memperjuangkan operasional latihan," kata dia.
Mahkamah Agung menyatakan Lion Air berhak mengelola Bandara Halim. Angkasa Pura berkeberatan tetapi pemerintah tidak menolak. Baru setahun silam Angkasa Pura II sibuk berbenah di salah satu bandara yang mereka kelola, Halim Perdanakusuma International Air port di Jakarta Timur.
Bandara kecil milik Angkatan Udara itu bisa dibilang sudah sekitar seperempat abad tidak melayani penerbangan komersial. Bandara itu ditata ulang karena dimanfaatkan kembali untuk penerbangan komersial mulai awal tahun ini. Bandara itu mesti disiapkan bagi para musafir yang hendak pergi atau datang dari seluruh pelosok Tanah Air.
Tapi tiba kembali dengan Citilink sebagai pengguna utama, maskapai terbesar Indonesia, Lion Air, membuat berita dramatis yang mengagetkan: Lion Air akan mengambil alih manajemen bandara dari tangan Angkasa Pura II. “Dari sisi hukum, kita berhak (mengelola),” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.
Dari sisi hukum? Ya, ternyata diam-diam sudah ada sengketa hukum antara Angkasa Pura II, Induk Koperasi TNI AU (Inkopau), dan Lion Air sejak 2010. Sengketa di pengadilan sejak 2010 ini sudah berakhir di Mahkamah Agung, dan menyatakan maskapai Indonesia yang agresif ini berhak sebagai pengelola bandara.
Angkasa Pura mengelola urusan penerbangan sipil di lapangan udara milik Angkatan Udara ini sejak 1992. Hak pengelolaan Angkasa Pura ini kemudian diperkuat oleh izin Kepala Staf TNI Angkatan Udara pada 1997 kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang setiap 5 tahun sekali dievaluasi dan surat keputusan Menteri Perhubungan pada 2003.
Urusannya sedikit berubah saat Inkopau dan Lion berpatungan membentuk perusahaan bernama PT Angkasa Transportindo Selaras. Di anak usaha ini, Inkopau memiliki 20 persen saham dan sisanya dimiliki Lion Air. Pembentukan pada 2006 ini juga disertai perjanjian bahwa Angkasa Transportindo Selaras bakal mengelola 21 hektare lahan bandara sepenuhnya.
Saat mengatakan kesepakatan dengan Inkopau, menurut Lion, mereka diberi tahu tidak ada masalah dengan pihak mana pun. “Yang kami tahu, itu dikatakan tidak punya rencana apaapa dari berbagai pihak. Dengan itulah kita bisa jadikan ada perjanjian kerja sama pemanfaatan lahan,” ujar Edward.
Tapi, meski berbekal kesepakatan dengan Inkopau, anak usaha Lion ini tidak bisa segera bekerja. Hambatan pertama adalah Undang Undang Nomor 15 Tahun 1995 tentang Penerbangan. Undang-undang itu menyebut pengelola bandara adalah perusahaan negara. Hanya Angkasa Pura yang bisa masuk kategori ini. Peluang Lion baru terbuka setelah muncul undangun Pura II dan perusahaan pemerintah itu tentu tidak rela begitu saja disingkirkan.
Lion merasa obyek kesepakatan Inkopau dengan Lion adalah aset yang mereka miliki
Lion merasa obyek kesepakatan Inkopau dengan Lion adalah aset yang mereka miliki, seperti landas pacu, taxiway , apron, dan gedung. “Asetaset itu milik negara yang diserahkan ke Angkasa Pura II sebagai penyertaan modal negara pada 1992,” kata juru bicara Angkasa Pura II, Achmad Syahir.
Maka, Angkasa Pura tetap mengelola dengan dasar hukum izin dari 1997 itu. Ia mengatakan izin pada 1997 itu tidak disebut kapan kedaluwarsanya. “Tidak diatur kapan berakhirnya,” katanya.
Akibatnya, Lion Air habis kesabarannya karena kesepakatan dengan Inkopau tidak terealisasi juga. Maka, pada 2010 mereka membawa masalahnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Di pengadilan, Lion yang menang. Angkasa Pura tidak puas terhadap hasil pengadilan ini sehingga mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi serta kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya sama: Lion yang berhak mengelola bandara berdasarkan kesepakatan pada 2005 itu.
Meski sudah ada keputusan Mahkamah Agung, Angkasa Pura tetap bekerja seperti biasa di Halim sampai pekan lalu saat Lion membawa urusannya ke ranah publik. Mereka menyatakan akan mengelola Halim, menyediakan anggaran Rp 5 triliun, dan sudah menunjuk perusahaan negara, Adhi Karya, sebagai kontraktor. Tak hanya bangunan dipermak dan garbarata dipasang di sana, tapi juga akan dibuat monorel yang terintegrasi dengan monorel Cibubur-Bekasi-Jakarta yang sedang digagas.
Angkasa Pura II pun menjadi sibuk. “Saat ini pihak manajemen sedang merapatkan secara intensif dan kita menunggu kirakira langkah manajemen seperti apa,” ujar Achmad Syahir. Sedangkan bagi pemerintah, tidak masalah siapa yang memegang Bandara Halim, apakah Angkasa Pura II atau anak usaha Lion Air. Malah, Kementerian Perhubungan cenderung setuju bila Lion yang memegang. Alasannya sederhana yakni masalah anggaran. Sumber:majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Jokowi meminta agar bandara Halim Perdanakusuma tetap harus diprioritaskan untuk kepentingan operasional TNI AU"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism