Pengendalian wilayah udara di Kepulauan Riau oleh Singapura menyulitkan TNI AU menindak pelanggaran kedaulatan. Persiapan harus dilakukan meski peluang mengambil alih masih 10 tahun lagi.
Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Laurens Bahang Dama resah. Penyebabnya bukan peluangnya berkiprah kembali di Senayan yang masih tanda tanya. Calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini resah lantaran munculnya pemberitaan mengenai wilayah udara Kepulauan Riau (Kepri) yang hingga kini masih dikendalikan Singapura.
Pengendalian wilayah udara oleh negeri tetangga itu sejatinya merupakan masalah lama. Isu tersebut terus diungkit oleh berbagai kalangan. Munculnya kembali pemberitaan soal itu baru-baru ini mengusik jiwa nasionalismenya. “Kita benar-benar kecolongan,” kata politikus Partai Amanat Nasional ini saat berbincang dengan majalah detik, Selasa, 22 April lalu.
Negeri Singa mengendalikan wilayah udara di seputar Kepri selama 68 tahun atau tepatnya sejak 1946. International Civil Aviation Organization (ICAO) adalah pihak yang memandatkan Singapura mengontrol lalu lintas udara di wilayah itu. Pertimbangannya, negeri jiran tersebut dianggap lebih mumpuni dalam hal kelengkapan radar maupun alat pemantau keselamatan penerbangan.
Flight information region (FIR) di wilayah udara itu masih dikendalikan Singapura hingga 2024. Dasarnya adalah keputusan ICAO dalam pertemuan negara-negara anggota organisasi penerbangan sipil dunia itu yang digelar di Bangkok, Thailand, pada akhir 2013.
Laurens menganggap masalah yang berkaitan dengan kedaulatan negara Indonesia tersebut sangat penting. Karena itu, dalam waktu dekat, komisi di DPR yang membidangi perhubungan tersebut akan mengundang perwakilan pemerintah untuk melakukan rapat, yakni Kementerian Perhubungan, PT Angkasa Pura I dan II, serta Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI).
Rapat utamanya membahas persiapan pengambilalihan navigasi penerbangan di wilayah Kepri tersebut. “Meski masih 10 tahun lagi, harus kita persiapkan sejak dini supaya tak lolos lagi,” ujar Laurens. Pengamat masalah penerbangan Alvin Lie menilai pengendalian wilayah udara Kepri oleh negara yang cuma berpenduduk kurang-lebih 5 juta orang itu tidaklah mengherankan. Pasalnya, sebagai negara, Singapura memang serius mengelola soal penerbangan karena telah memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai ketimbang Indonesia. “Kalau mau ambil alih (FIR di Kepri), ya tunjukkan bahwa kita memang benar-benar mampu dan siap. Jadi bukan sekadar kebakaran jenggot,” tuturnya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 24 April lalu.
Namun juru bicara Kementerian Perhubungan, Barata, membantah anggapan bahwa institusinya membiarkan saja ada bagian wilayah udara Indonesia yang dikendalikan negara lain. Buktinya, pemerintah telah membentuk LPPNPI awal tahun lalu, kendati pendiriannya sempat molor satu tahun karena sejumlah kendala teknis.
Selain mengelola lalu lintas penerbangan, menurut Barata, lembaga itu diserahi tanggung jawab mempersiapkan pengambilalihan wilayah udara Kepri dari kendali Singapura. Sementara itu Angkasa Pura I dan II bertugas mengelola wilayah darat di bandar-bandar udara. Namun, karena baru setahun dibentuk, LPPNPI baru melakukan sejumlah perbaikan, di antaranya mengambil alih pemantauan lalu lintas penerbangan di bandara-bandara besar. Sedangkan wilayah udara di bandara kecil masih dikelola oleh Direktorat Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Jalalludin, mantan Wakil Ketua Umum Asosiasi Air Traffic Controller, yang kini bertugas di LPPNPI, mengatakan, selaku badan usaha milik negara, lembaga ini tidak ditugasi mengejar keuntungan, melainkan hanya mengatur lalu lintas udara. Perolehan pendapatan dari pengaturan itu akan digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan sejumlah keperluan LPPNPI lainnya. Kendati begitu, “Kami siap menjalankan tugas,” ucapnya.
Menurut Jalalludin, mengembalikan wewenang FIR di wilayah udara Kepri ke Indonesia sebenarnya tak sulit-sulit amat. Mungkin benar jika puluhan tahun lalu ICAO berpendapat bahwa teknologi atau infrastruktur yang dimiliki Indonesia belum memadai untuk mengelola lalu lintas udara di wilayah itu. Namun pendapat itu sejatinya bisa dipatahkan. Sebab, sejak beberapa tahun lalu Indonesia memiliki radar yang bisa menjangkau wilayah udara Kepri. Sehingga alasan bahwa RI belum bisa mendapat mandat ICAO untuk mengendalikan wilayah udaranya sendiri lantaran faktor teknologi sudah tidak relevan lagi. Ia justru menilai pemerintah belum bersungguhsungguh mengambil alih wilayah udaranya itu. “Kuasa FIR ini kemudian seolah terjadi turunmenurun tanpa perubahan. Dan Singapura tetap yang menguasai,” katanya.
Menurut penuturan seorang sumber di Angkasa Pura, berbagai upaya menarik kuasa pengelolaan lalu lintas di Kepri dari Singapura selalu kandas di meja perundingan. Negeri itu, menurut sumber tersebut, terlalu “kuat”. Ditambah dukungan dari ICAO, Singapura selalu mendapat wewenang pengendalian wilayah udara Kepri.
Sumber ini menduga sikap Singapura yang berkukuh mempertahankan wewenang mengendalikan FIR di wilayah Kepri lantaran tak ingin lalu lintas penerbangannya terganggu karena berbatasan dengan wilayah penerbangan udara Indonesia. Karena itu, mereka memilih tak melepaskan pengendalian tersebut. Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto mengatakan, selama FIR di wilayah Kepri masih dikendalikan Singapura, TNI AU tidak bisa leluasa bertindak jika terjadi pelanggaran kedaulatan di wilayah udara tersebut. Ini karena seluruh penerbangan yang melintas di wilayah udara Kepri harus melapor terlebih dulu kepada otoritas Singapura.
Pengamat penerbangan yang juga mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purnawirawan) Chappy Hakim menilai kedaulatan negara di udara akan selalu menjadi isu yang sangat sensitif. Acuan baku soal ini adalah Konvensi Chicago tahun 1944, yang antara lain menyebut bahwa kedaulatan negara di udara adalah “complete” dan “exclusive”. Berdasarkan hal itu, di wilayah udara kedaulatan sebuah negara, tidak ada fasilitas terbang lintas tanpa izin seperti yang dikenal dalam hukum laut “innocentpassage” atau lintas damai pada alur laut tertentu dari wilayah kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan negara di udara sangat erat kaitannya dengan sistem pertahanan udara nasional. “Karena itu, masalah FIR Singapura (di wilayah Kepri) harus diselesaikan dengan segera, sebagai konsekuensi dari Konvensi Chicago tersebut,” ujar Chappy.
Belum ada tanggapan untuk "Kuasa Singapura di jalur Udara Indonesia"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism