SALAH satu yang beberapa kali diberitakan saat terjadi suksesi kepemimpinan PT Garuda Indonesia adalah soal utang yang menumpuk. Pada laporan keuangan triwulan ketiga, utang maskapai ini mencapai US$ 1 miliar (Rp 12 triliun). Utang ini juga terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2012, utang Garuda masih US$ 648 juta, dan tahun berikutnya menjadi US$ 852 juta.
Garuda sendiri banyak berutang karena sedang dalam proses memperbesar diri. Chris Kanter, komisaris Garuda periode sebelumnya, mengatakan utang itu muncul karena mereka memborong sejumlah pesawat, terutama pesawat baling-baling kecil. Jika Garuda ademayem tidak memperbesar diri dengan meminjam modal, mereka tidak akan memiliki utang. “Kita bisa untung luar biasa jika tak membeli pesawat,” ucapnya.
Tapi, jika tidak memperbesar diri, Garuda bisa terancam disikat pesaingnya. “Tahun 2017, Garuda bangkrut karena tak mampu bersaing dengan kompetitor,” kata Chris memprediksi. Itu sebabnya, meski lebih besar, utang kali ini beda dengan utang 2005 saat Emirsyah Satar mulai memimpin maskapai tertua Indonesia ini. Emirsyah mengatakan utang pada 2005 itu banyak dari akumulasi penjadwalan kembali utang dari 1996 sehingga makin besar. Sedangkan sekarang, utang untuk investasi. “Sebesar US$ 500 juta dipakai untuk predelivery payment atau uang muka pembelian pesawat,” katanya. “Lalu sekitar US$ 400 juta untuk maintenance reserve atau dana cadangan untuk merawat pesawat.”
|
Garuda Indonesia |
Yang juga berbeda dengan utang zaman itu adalah kemampuan membayarnya. Saat mulai memimpin Garuda pada 2005, utangnya lebih kecil, yakni US$ 794 juta. Tapi saat itu pendapatan hanya US$ 1,3 miliar. “Kemampuan membayar utang hanya sekitar 1,5 kali,” kata Emirsyah. Sedangkan sekarang, meski utang mencapai US$ 1 miliar, pendapatan mencapai US$ 3,7 miliar. “Berarti apa? Kemampuan Garuda membayar utang mencapai 3,7 kali lipat,” katanya. Saat itu kas Garuda juga kosong, sedangkan sekarang berisi US$ 350 juta.
Itu sebabnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo tak terlalu mencemaskan utang perusahaan yang mulai ia pimpin itu. “Utang bukan masalah, value Garuda terus naik, jadi jangan masalahkan utang,” ucapnya. Apalagi, katanya, “Utang itu masih wajar di perusahaan yang sedang berkembang.” Yang jelas, ia akan mencari utang baru guna menambal utang itu. Refinancing ini untuk mengurangi sebagian utang sehingga tekanan dalam setahun ke depan akan berkurang.
Utang untuk mengejar pertumbuhan memang sah-sah saja. Tapi ada juga yang terkena dampaknya, yakni para investor yang mengincar dividen. Besar utang ini membuat Garuda menyatakan tidak akan membayar dividen dalam beberapa tahun ini. Akibatnya, analis saham PT Kresna Graha Sekurindo, Jimmy Dimas Wahyu, mengatakan para pemegang saham Garuda di bursa pasti ingin pembagian dividen yang besar dan berkelanjutan. “Satu sisi Garuda dapat penghargaan, tapi sisi lain keuangannya merugi,” katanya. “Ini pasti ada masalah yang belum ketemu jalan keluarnya (mismatch).”
Sedangkan analis bursa lain, Reza Nugraha dari MNC Securities, menyatakan masih menunggu laporan keuangan tahunan 2014 dan kuartal pertama tahun depan untuk memastikan seberapa sehat Garuda dengan utangutangnya itu. “Saya belum bisa memberikan rekomendasi terhadap saham Garuda, tapi yang jelas pasar akan menilai dari laporan keuangan full year 2014 dan laporan kuartal pertama 2015,” tutur Reza. Sumber:majalahdetik
Belum ada tanggapan untuk "Sedang dalam proses memperbesar diri Garuda banyak berutang"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism