Thursday, October 9, 2014

Berkuasanya maskapai penerbangan asing di Indonesia

Kebijakan ASEAN OPEN SKY yang dimulai tahun depan masih sangat terbatas. Rute gemuk dalam negeri tetap dilindungi pemain asing. Gedung berlantai 6 yang menjadi kantor pusat AirAsia di Indonesia bertengger tepat di luar garis pembatas kompleks Bandara Soekarno- Hatta. Nyaris sekitar dua menit sekali, dua pesawat mendarat bersamaan di ujung dua landasan paralel bandara itu. Dari lantai atas gedung itu pula salah satu pesawat milik maskapai sedang parkir di tarmak.

Di atap gedung itu dicat logo AirAsia yang besar, mungkin hampir seukuran separuh lapangan basket. Logo itu diberi lampu sorot sehingga tulisannya bakal mencolok pada malam hari. “Penumpang pesawat yang duduk di kiripasti melihatnya,” kata salah satu eksekutif Indonesia AirAsia yang, seperti rekan-rekannya di  kantor itu, berpakaian sangat santai, yakni kaus  oblong, jins, dan sepatu olahraga.

Berkuasanya maskapai penerbangan asing di Indonesia

Maskapai penerbangan AirAsia lahir di Malaysia
Kehadiran maskapai yang lahir di Malaysia itu memang sangat mencolok di Indonesia, dan ini  bukan cuma urusan logo di atas kantor pusat mereka. Model bisnis AirAsia, yang memiliki anak usaha di Indonesia dan negara-negara lain, menjadi salah satu cara mereka menyiasati kebijakan pasar tunggal industri penerbangan (ASEAN Open Sky Policy) yang tidak kunjung datang ke wilayah ini.

Bahkan tahun depan, saat disebut-sebut Open Sky sudah berjalan, pun masih sangat terbatas lingkupnya, dalam istilah industri adalah Fifth Freedom (kebebasan kelima atau, menurut istilah Alvin Lie yang saat menjadi anggota DPR  masuk Kaukus Penerbangan disebut “derajat  kelima”) dari 9 tingkat yang ada.

Kebebasan pertama itu pesawat hanya boleh lewat di atas wilayah udara negara lain dan tingkat kesembilan, tertinggi, itu saat pesawat negara lain boleh mengambil rute domestik  negara lain. Misalnya Thai Airways mengambil rute Surabaya-Makassar pulang-pergi. Sedangkan derajat kelima itu cuma memungkinkan pesawat asing singgah di satu  negara lain untuk kemudian terbang ke negara lainnya lagi.

Berkuasanya maskapai penerbangan asing di Indonesia

Misalnya Thai Airways singgah di  Denpasar, untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, sebelum kemudian terbang ke Sydney di Australia. “Untuk ASEAN Open Sky tahun depan itu baru sampai derajat 3, 4, dan 5,” kata Alvin Lie.

Selain itu, kota yang dibuka untuk Open Sky tahap awal ini baru lima buah di Indonesia. Semua merupakan kota besar, yakni Medan,  Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar. Dengan hanya derajat 5 saja yang diputuskan, penerbangan antarkota dalam negeri tidak akan dimasuki pesawat asing.

Pesawat Thailand, misalnya, tidak bisa terbang dari Bangkok ke Jakarta kemudian diteruskan ke Surabaya. “Aturannya belum sampai ke sana,” ucap Alvin. Maka rute gemuk JakartaSurabaya tetap tidak bisa dimasuki maskapai asing, meski kedua kota ini masuk daftar  bandara di kebijakan ASEAN Open Sky.

Kalaupun pesawat Thailand itu mau meneruskan penerbangan, harus ke luar Indonesia, misalnya Bangkok-Jakarta-Manila. Sebelumnya sejumlah bandara sudah dibuka di Indonesiau untuk asing, tapi biasanya maskapai mereka masuk lewat perjanjian antara Indonesia dan negara bersangkutan, dan kebanyakan derajat 2 atau 3.

Jadi, Singapore Airlines bisa ke Jakarta, tapi dari Jakarta harus balik lagi ke Singapura. De ngan kesepakatan Open Sky ini, tidak perlu lagi ada kesepa katan antara Indonesia dan Thailand, semisal saat Sriwijaya Air hendak menerbangi Chiang Mai.

Analis dari Maybank Kim Eng, Mohshin Aziz, tahun lalu menyebut hambatan Open Sky itu datang terutama dari Indonesia. Indonesia,  yang memiliki 40 persen penduduk ASEAN dan bandara internasionalnya mencapai 36 persen di kawasan ini, merasa bakal dirugikan. “Negara lain akan diuntungkan,” tulis Mohshin tahun lalu.

Singapura, misalnya, hanya memiliki satu bandara. Jika maskapai dari Singapura mengambil rute Surabaya-Makassar pulang-pergi, Indonesia merasa dirugikan. Sebab, maskapai Indonesia tidak bisa mengambil langkah  yang sama  karena tidak ada rute dalam negeri di Singapura.

Maskapai penerbangan di Indonesia cemas
Maskapai Indonesia cemas, jika pasar Indonesia dibuka sepenuhnya, mereka akan kesulitan bersaing. Ini karena biaya operasi maskapai yang lebih mahal di Indonesia. Direktur Utama Citilink, Arif Wibowo, mengeluhkan harga bahan bakar yang sekitar 10 persen lebih tinggi di  Indonesia daripada negara ASEAN lain. “Avtur  saja kita menghadapi perbedaan harga yang cukup signifikan karena berbeda 13 persen dengan negara ASEAN lain, kita lebih mahal,”  tambah Arif.

Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air, mengatakan, jika ingin maskapai Indonesia berkompetisi dalam Open Sky, kebijakan yang berlaku bagi maskapai di negara ASEAN lainnya juga berlaku di Indonesia. “Jika tidak, bagaimana mau berkompetisi, tanding saja sudah berat, bagaimana mau menang?” kata Edward.

Dengan kondisi pasar domestik yang tertutup ini, satu-satunya cara untuk masuk pasar antar kota dalam negeri adalah membuat  anak usaha di negara sasaran. Ini yang dilakukan oleh AirAsia di banyak negara, termasuk Indonesia, serta Lion Air di Malaysia dan Thailand. “Sayang, selain Lion Air, maskapai milik orang Indonesia lainnya belum memiliki ancang-ancang model bisnis seperti Lion  Air,” kata Alvin. Itu sebabnya, kehadiran AirAsia dan lewat anak usaha nya, yakni PT Indonesia AirAsia sangat mencolok di Bandara Soekarno-Hatta. Sumber:majalahdetik.

No comments:

Post a Comment

Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.

Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism